Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM.
Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli
tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15
Agustus 2005.
Nota
Kesepahaman
antara
Pemerintah Republik Indonesia
dan
Gerakan Aceh Merdeka
Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka
untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan
bermartabat bagi semua.
Para
pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh
dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara
kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
Para
pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut
yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26
Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan.
Para
pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.
Nota
Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang
akan memandu proses transformasi.
Untuk
maksud ini Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut:
1.
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh
1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin
dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.
1.1.2. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan
di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani
di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
a)
Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan
diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali
dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal
ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana
kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan Konstitusi.
b) Persetujuan-persetujuan
internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan
hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh.
c) Keputusan-keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan
dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
d) Kebijakan-kebijakan administratif
yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan
dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat
senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum
yang akan datang.
1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada
perbatasan 1 Juli 1956.
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk
menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun
kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat
Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.
1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan
dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.
1.2. Partisipasi Politik
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak
lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI
menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis
di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk
partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling
lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota
2 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
Kesepahaman ini, akan menciptakan
kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini
yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.
1.2.2 Dengan penandatanganan Nota
Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk
posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan
April 2006 dan selanjutnya.
1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan
adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih
lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada
tahun 2009.
1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif
(DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundang-undangan
apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.2.5 Semua penduduk Aceh akan
diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan April
2006.
1.2.6 Partisipasi penuh semua orang
Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi
Republik Indonesia.
1.2.7 Pemantau dari luar akan
diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan
dengan bantuan teknis dari luar.
1.2.8 Akan adanya transparansi penuh
dalam dana kampanye.
1.3. Ekonomi
1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana
melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga
berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank
Indonesia).
1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan
memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi.
Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional
serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan
atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.
3 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
1.3.4. Aceh berhak menguasai 70%
hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada
saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar
Aceh.
1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan
dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.
1.3.6. Aceh akan menikmati
perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak,
tarif ataupun hambatan lainnya.
1.3.7. Aceh akan menikmati akses
langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.
1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk
menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara
Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi
atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah
Aceh.
1.3.9. GAM akan mencalonkan
wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam
komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).
1.4. Peraturan Perundang-undangan
1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara
badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui.
1.4.2. Legislatif Aceh akan
merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip
universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
1.4.3. Suatu sistem peradilan yang
tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di
dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian
Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala
Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian
organik dan penuntut umum
4 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
akan dilakukan dengan berkonsultasi
dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional
yang berlaku.
1.4.5. Semua kejahatan sipil yang
dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di
Aceh.
2. Hak Asasi Manusia
2.1. Pemerintah RI akan mematuhi
Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan
Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi
Manusia akan dibentuk untuk Aceh.
2.3. Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam
masyarakat
3.1. Amnesti
3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan
prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah
terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak
penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan politik
yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan
selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan
memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan nasihat dari
penasihat hukum Misi Monitoring.
3.1.4. Penggunaan senjata oleh
personil GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan dianggap sebagai
pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang
bersangkutan memperoleh amnesti.
5 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat
3.2.1. Sebagai warga negara Republik
Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari
Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua
hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas
dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.
3.2.2. Orang-orang yang selama
konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk
mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.
3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah
Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam
kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat.
Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan
GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena
dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan
dibentuk.
3.2.4. Pemerintah RI akan
mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang
hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.
3.2.5. Pemerintah RI akan
mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh
dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam
masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena
dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:
a) Semua mantan pasukan GAM akan
menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial
yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
b) Semua tahanan politik yang
memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas,
pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak
mampu bekerja.
c) Semua rakyat sipil yang dapat
menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah
pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari
Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
6 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah
RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim
yang tidak terselesaikan.
3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak
untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa
diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.
4. Pengaturan Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak
akan berakhir selambat-lambatnya pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman
ini.
4.2. GAM melakukan demobilisasi atas
semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun
menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman
ini.
4.3. GAM melakukan decommissioning
semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para anggota
dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk
menyerahkan 840 buah senjata.
4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan
dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat
tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.
4.5. Pemerintah RI akan menarik semua
elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.
4.6. Relokasi tentara dan polisi
non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan
dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap
tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.
4.7. Jumlah tentara organik yang
tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan
polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.
4.8. Tidak akan ada pergerakan
besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua
pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya
kepada Kepala Misi Monitoring.
7 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
4.9. Pemerintah RI melakukan
pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh
setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.
4.10. Polisi organik akan bertanggung
jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh.
4.11. Tentara akan bertanggung jawab
menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya
tentara organik yang akan berada di Aceh.
4.12. Anggota polisi organik Aceh
akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan
pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.
5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh
5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan
dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat
memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.
5.2. Tugas AMM adalah untuk:
a) memantau demobilisasi GAM
dan decomissioning persenjataannya.
b) memantau relokasi tentara dan polisi non-organik.
c) memantau reintegrasi
anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam
masyarakat.
d) memantau situasi hak asasi manusia
dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g) menyelidiki dan memutuskan
pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h) membentuk dan memelihara hubungan
dan kerjasama yang baik dengan para pihak.
5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA)
antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman
ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan
AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah
diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan
kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.
8 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
5.4. Pemerintah RI akan memberikan
semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, Pemerintah RI
akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan
menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.5. GAM akan memberikan semua
dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis
surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan
komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.6. Para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan menyatakan
kerjasamanya secara penuh dengan AMM.
5.7. Tim monitoring memiliki
kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang
tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para
pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan
operasional AMM.
5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab
atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM tidak membawa
senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian
bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI.
Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan
bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.
5.9. Pemerintah RI akan menyediakan
tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul senjata
bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.
5.10. Penghancuran segera akan
dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan amunisi. Proses ini akan
sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.
5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi
Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para pihak dan kepada
pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang
ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.
5.12. Setelah penandatanganan Nota
Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil senior untuk menangani
semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan
Kepala Misi Monitoring.
9 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
5.13. Para pihak bersepakat atas
suatu pemberitahuan prosedur tanggungjawab kepada AMM, termasuk isu-isu militer
dan rekonstruksi.
5.14. Pemerintah RI akan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan medis darurat dan
perawatan di rumah sakit bagi personil AMM.
5.15. Untuk mendukung transparansi,
Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan media nasional dan
internasional ke Aceh.
6. Penyelesaian perselisihan
6.1. Jika terjadi perselisihan
berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera
diselesaikan dengan cara berikut:
a) Sebagai suatu aturan, perselisihan
yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh
Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak
memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan
mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
b) Jika Kepala Misi Monitoring
menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara
sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh
Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya,
Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
c) Dalam kasus-kasus di mana
perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana
disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung
kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia,
pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative,
serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi
dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan
mengambil keputusan yang mengikat para pihak.
***
10 Terjemahan resmi ini telah
disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan
dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.
Pemerintah RI dan GAM tidak akan
mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota
Kesepahaman ini.
***
Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia,
pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.
A.n. Pemerintah Republik Indonesia, A.n. Gerakan Aceh
Merdeka,
Hamid Awaluddin Malik Mahmud
Menteri Hukum dan HAM Pimpinan
Disaksikan oleh,
Martti Ahtisaari
Mantan Presiden Finlandia
Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative
Fasilitator proses negosiasi
Tidak ada komentar :
Posting Komentar